“Mi, kuncirin dong,” pinta Frili kepada maminya dengan nada manja pada pukul 05.20.
“Dikuncir kayak gimana?” tanya sang mami karena bingung dengan rambut Frili yang dapat dikatakan masih pendek.
“Dibagi dua, terus yang bawah dulu yang dikuncir, terus yang di atas kuncir lagi, terus digabung deh,” jelas Frili sambil mempraktekkan gayanya menguncir rambut seorang diri.
Sang mami pun mulai menguncir rambut Frili.
“Ih yang kenceng dong! Ini longgar banget, udah gitu miring ke kiri,” kata Frili kesal.
“Ini udah bener,” kata mami sambil mencoba meluruskan kepala Frili.
“Ini kepala kakak, yang tau lurusnya kemana ya kakak lah,” protes Frili karena usaha sang mami untuk meluruskan arah kepalanya gagal.
“Udah nih,” jawab mami singkat.
“Rapi nggak?” tanya Frili dengan singkat pula.
“Iya.”
Frili pun memperhatikan dirinya di depan cermin, lebih tepatnya memperhatikan hiasan yang ada di rambutnya.
“Ah, nggak rapi!” sentaknya kecewa.
Karena Frili merasa kalau ia menguncir rambutnya sendiri akan terlihat lebih baik daripada yang maminya lakukan, maka ia membongkar kunciran itu dan menyusunnya kembali seperti yang maminya lakukan. Hanya saja, hasil kunciran yang Frili buat lumayan lebih rapi dibanding yang maminya buat untukknya.
“Kan, bagusan kakak yang nguncir, huuuuu!” katanya bahagia sambil membanggakan diri.
Frili berjalan ke dapur untuk memperlihatkan hasil usahanya menguncir rambut seorang diri kepada sang mami.
“Liat nih, bagusan kakak yang nguncir sendiri. Ya kan? Huuuuu,” Frili pun memperlihatkan rambutnya.
“Wah, dirombak semua!” kata sang mami kecewa.
“Apaan? Sama aja deh,” tanya Frili penasaran.
“Tadi kan kunciran yang diatas warna ungu, yang di bawah warna pink. Sekarang ditukar,” jelas mami sambil tertawa kecil.
GUBRAK!!
“Yah, sama aja kali! Nggak ngaruh ini,” jawab Frili.
“Buang-buang waktu aja dong tadi mami 10 menit buat nguncirin rambut kamu?” tanya mami kecewa. Sebenarnya mami tidak memerlukan jawaban untuk pertanyaan yang satu ini. Karena apapun jawaban Frili, waktu 10 menit itu memang sudah berlalu.
“Haha, biarin,” jawab Frili santai.
“Ih dikuncir,” sapa Eky pada Frili saat Frili memasuki kelas.
“Biarin weee,” ledek Frili.
“Fril, kapan-kapan jalan-jalan lagi yuk! Biasa,” ajak Iie kepada Frili.
“Ayo-ayo! Eky, lo ikut yaa,” jawab Frili dengan nada ceria, lalu mengajak Eky untuk ikut serta dalam program belanja Frili dan Iie.
“Ah, dia mah pasti nggak mau,” potong Iie, karena ia tahu kalau Eky hanya akan berdiam diri saja saat mereka berdua asik memilih-milih barang.
“Tau ah! Lo berdua kemaren juga cuma beli gelang aja lamanya minta ampun!” kata Eky kesal.
“Ya iya lah,” jawab Frili dan Iie secara bersamaan.
“Ih hari ini belajar? Gue nggak bawa buku!” teriak salah seorang dari teman sekelas Frili.
“Iya, tadi gue ketemu si Bapak, katanya mau tes silat.”
“Dikuncir kayak gimana?” tanya sang mami karena bingung dengan rambut Frili yang dapat dikatakan masih pendek.
“Dibagi dua, terus yang bawah dulu yang dikuncir, terus yang di atas kuncir lagi, terus digabung deh,” jelas Frili sambil mempraktekkan gayanya menguncir rambut seorang diri.
Sang mami pun mulai menguncir rambut Frili.
“Ih yang kenceng dong! Ini longgar banget, udah gitu miring ke kiri,” kata Frili kesal.
“Ini udah bener,” kata mami sambil mencoba meluruskan kepala Frili.
“Ini kepala kakak, yang tau lurusnya kemana ya kakak lah,” protes Frili karena usaha sang mami untuk meluruskan arah kepalanya gagal.
“Udah nih,” jawab mami singkat.
“Rapi nggak?” tanya Frili dengan singkat pula.
“Iya.”
Frili pun memperhatikan dirinya di depan cermin, lebih tepatnya memperhatikan hiasan yang ada di rambutnya.
“Ah, nggak rapi!” sentaknya kecewa.
Karena Frili merasa kalau ia menguncir rambutnya sendiri akan terlihat lebih baik daripada yang maminya lakukan, maka ia membongkar kunciran itu dan menyusunnya kembali seperti yang maminya lakukan. Hanya saja, hasil kunciran yang Frili buat lumayan lebih rapi dibanding yang maminya buat untukknya.
“Kan, bagusan kakak yang nguncir, huuuuu!” katanya bahagia sambil membanggakan diri.
Frili berjalan ke dapur untuk memperlihatkan hasil usahanya menguncir rambut seorang diri kepada sang mami.
“Liat nih, bagusan kakak yang nguncir sendiri. Ya kan? Huuuuu,” Frili pun memperlihatkan rambutnya.
“Wah, dirombak semua!” kata sang mami kecewa.
“Apaan? Sama aja deh,” tanya Frili penasaran.
“Tadi kan kunciran yang diatas warna ungu, yang di bawah warna pink. Sekarang ditukar,” jelas mami sambil tertawa kecil.
GUBRAK!!
“Yah, sama aja kali! Nggak ngaruh ini,” jawab Frili.
“Buang-buang waktu aja dong tadi mami 10 menit buat nguncirin rambut kamu?” tanya mami kecewa. Sebenarnya mami tidak memerlukan jawaban untuk pertanyaan yang satu ini. Karena apapun jawaban Frili, waktu 10 menit itu memang sudah berlalu.
“Haha, biarin,” jawab Frili santai.
“Ih dikuncir,” sapa Eky pada Frili saat Frili memasuki kelas.
“Biarin weee,” ledek Frili.
“Fril, kapan-kapan jalan-jalan lagi yuk! Biasa,” ajak Iie kepada Frili.
“Ayo-ayo! Eky, lo ikut yaa,” jawab Frili dengan nada ceria, lalu mengajak Eky untuk ikut serta dalam program belanja Frili dan Iie.
“Ah, dia mah pasti nggak mau,” potong Iie, karena ia tahu kalau Eky hanya akan berdiam diri saja saat mereka berdua asik memilih-milih barang.
“Tau ah! Lo berdua kemaren juga cuma beli gelang aja lamanya minta ampun!” kata Eky kesal.
“Ya iya lah,” jawab Frili dan Iie secara bersamaan.
**
“Ih hari ini belajar? Gue nggak bawa buku!” teriak salah seorang dari teman sekelas Frili.
“Iya, tadi gue ketemu si Bapak, katanya mau tes silat.”
“Waaaa!!! Gue belum hapal,” teriak hampir seluruh teman sekelas Frili, sehingga terdengar suara yang bergema.
“Ayo siapa lagi yang mau dites?” tanya guru olahraga Frili kepada murid-muridnya.
“Kita bertiga yuk, ie, ky!” ajak Frili kepada Iie dan Eky.
“Ih, belum hapal,” rengeknya karena belum sanggup menerima dirinya untuk dites silat jurus 1 sampai dengan 7.
“Ayolah, sehapalnya aja,” kata Iie menandakan bahwa ia setuju dengan Frili.
“Dua.. dua.. dua..” hitung sang guru.
“Koq hitungan dua malah jadi patung?” tanyanya heran karena mereka bertiga tak bergerak sedikitpun. Yang bergerak hanyalah mata mereka yang saling lirik kiri kanan seperti penari Bali untuk mengintip gerakan satu sama lain. Tetapi tak satupun dari mereka yang tahu gerakan apa yang harus dilakukan pada jurus 6 hitungan 2.
“Aduh, apa ya?” tanta mereka dalam hati, bahkan hampir terdengar suara hati mereka itu oleh sang guru.
“Udah, punya hutang 2 jurus lagi ya,” kata sang guru karena bosan melihat patung yang belum selesai dipahat itu.
“Iya, makasih ya, Pak!”
Teringat akan buku-bukunya yang masih berada di dalam locker pribadi, Frili pun segera mengabil kunci lockernya dan segera membuka lockernya lalu mengeluarkan semua buku paket yang berstatus ‘pinjaman sekolah’. Frili membawanya lalu meletakkannya di meja guru, karena lemari kelas berada tepat di belakang meja guru.
“Nih, Fril, sekalian!” kata teman Frili sambil meletakkan bukunya di meja guru.
“Iya.”
“Cie, si Mami mau baca buku,” goda Mutia saat Frili hendak memasukkan bukunya ke lemari kelas. Entah apa yang membuat Frili dipanggil dengan sebutan ‘Mami” di kelasnya.
“Enggak! Ini mah aku cuma mau masukin buku aja yey, hahaha...” jawab Frili membela diri sekaligus mengejek dirinya sendiri.
“Sini lah aku bantuin,” Mutia pun membantu Frili membereskan bukunya.
Saat Frili sedang menyelipkan bukunya di antara buku-buku yang berdempet rapat di lemari,
BRUUUKKK!!!
Tumpukan buku dari atas terjatuh sehingga menimpa tangan Frili, jari manis, serta kelingkingnya. AAAWWW!!! Sakit sekali pastinya. Di antara buku-buku yang ada di rak teratas, terdapat banyak buku Geografi yang lumayan tebal untuk dibaca. Frili hanya terdiam dalam kebingungannya. Atau mungkin ia kaget, saat bagian tubuhnya tertimpa buku-buku dan besi lemari?
Semua murid yang sedang merapikan kelas seakan-akan tertarik oleh sebuah magnet yang sangat kuat karena mendengar suara besi lemari terjatuh.
“Tuh kan, udah dibilangin nggak kuat!” kata teman-teman Frili.
“Salahin bapak! Salahin bapak! Salahin bapak!” demo teman-teman Frili karena merasa benar bahwa lemari kelas tersebut tidak mampu untuk menahan buku paket yang banyak dan tebal itu.
Frili yang sadar bahwa tangan, jari manis, serta kelingkingnya mulai terasa sakit akibat tertimpa benda-benda tersebut. Ia mulai menangis. Gaya tangisannya seperti anak kecil yang kesakitan. Lalu teman-temannya segera berusaha menenankan Frili agar tidak menangis lagi. Tetapi apa daya? Sakitnya itu tidak terasa seperti sakit yang tertimpa benda biasa. Frili terus saja menangis. Sampai Dini, temannya, berusaha mengurut Frili, katanya ia sudah terbiasa mengurut mamanya.
“Sakit banget? Dimananya?” tanya Dini sambil mengurut Frili.
“Iya, disini,” jawab Frili sambil menunjuk ke arah tubuh yang terasa sakit.
“Ih, sakit banget tuh pasti!” kata teman-temannya yang melihat kejadian itu.
“Masih sakit?” tanya Dini sambil terus mengurut tangan Frili.
“Masih,” jawab Frili sambil terus menangis. Tapi saat ini tangisannya sudah mulai mereda.
“Ke UKS aja, Fril!” suruh beberapa teman Frili.
“Nggak mau,” tolak Frili.
Tetapi akhirnya Iie berhasil mengajak Frili untuk pergi ke UKS untuk mengambil minyak kayu putih. Tapi sangat disayangkan karena barang yang dibutuhkan sedang tidak ada. Terpaksa mereka kembali ke kelas dengan tangan kosong.
**
“Ayo siapa lagi yang mau dites?” tanya guru olahraga Frili kepada murid-muridnya.
“Kita bertiga yuk, ie, ky!” ajak Frili kepada Iie dan Eky.
“Ih, belum hapal,” rengeknya karena belum sanggup menerima dirinya untuk dites silat jurus 1 sampai dengan 7.
“Ayolah, sehapalnya aja,” kata Iie menandakan bahwa ia setuju dengan Frili.
**
“Dua.. dua.. dua..” hitung sang guru.
“Koq hitungan dua malah jadi patung?” tanyanya heran karena mereka bertiga tak bergerak sedikitpun. Yang bergerak hanyalah mata mereka yang saling lirik kiri kanan seperti penari Bali untuk mengintip gerakan satu sama lain. Tetapi tak satupun dari mereka yang tahu gerakan apa yang harus dilakukan pada jurus 6 hitungan 2.
“Aduh, apa ya?” tanta mereka dalam hati, bahkan hampir terdengar suara hati mereka itu oleh sang guru.
“Udah, punya hutang 2 jurus lagi ya,” kata sang guru karena bosan melihat patung yang belum selesai dipahat itu.
“Iya, makasih ya, Pak!”
**
Teringat akan buku-bukunya yang masih berada di dalam locker pribadi, Frili pun segera mengabil kunci lockernya dan segera membuka lockernya lalu mengeluarkan semua buku paket yang berstatus ‘pinjaman sekolah’. Frili membawanya lalu meletakkannya di meja guru, karena lemari kelas berada tepat di belakang meja guru.
“Nih, Fril, sekalian!” kata teman Frili sambil meletakkan bukunya di meja guru.
“Iya.”
“Cie, si Mami mau baca buku,” goda Mutia saat Frili hendak memasukkan bukunya ke lemari kelas. Entah apa yang membuat Frili dipanggil dengan sebutan ‘Mami” di kelasnya.
“Enggak! Ini mah aku cuma mau masukin buku aja yey, hahaha...” jawab Frili membela diri sekaligus mengejek dirinya sendiri.
“Sini lah aku bantuin,” Mutia pun membantu Frili membereskan bukunya.
Saat Frili sedang menyelipkan bukunya di antara buku-buku yang berdempet rapat di lemari,
BRUUUKKK!!!
Tumpukan buku dari atas terjatuh sehingga menimpa tangan Frili, jari manis, serta kelingkingnya. AAAWWW!!! Sakit sekali pastinya. Di antara buku-buku yang ada di rak teratas, terdapat banyak buku Geografi yang lumayan tebal untuk dibaca. Frili hanya terdiam dalam kebingungannya. Atau mungkin ia kaget, saat bagian tubuhnya tertimpa buku-buku dan besi lemari?
Semua murid yang sedang merapikan kelas seakan-akan tertarik oleh sebuah magnet yang sangat kuat karena mendengar suara besi lemari terjatuh.
“Tuh kan, udah dibilangin nggak kuat!” kata teman-teman Frili.
“Salahin bapak! Salahin bapak! Salahin bapak!” demo teman-teman Frili karena merasa benar bahwa lemari kelas tersebut tidak mampu untuk menahan buku paket yang banyak dan tebal itu.
Frili yang sadar bahwa tangan, jari manis, serta kelingkingnya mulai terasa sakit akibat tertimpa benda-benda tersebut. Ia mulai menangis. Gaya tangisannya seperti anak kecil yang kesakitan. Lalu teman-temannya segera berusaha menenankan Frili agar tidak menangis lagi. Tetapi apa daya? Sakitnya itu tidak terasa seperti sakit yang tertimpa benda biasa. Frili terus saja menangis. Sampai Dini, temannya, berusaha mengurut Frili, katanya ia sudah terbiasa mengurut mamanya.
“Sakit banget? Dimananya?” tanya Dini sambil mengurut Frili.
“Iya, disini,” jawab Frili sambil menunjuk ke arah tubuh yang terasa sakit.
“Ih, sakit banget tuh pasti!” kata teman-temannya yang melihat kejadian itu.
“Masih sakit?” tanya Dini sambil terus mengurut tangan Frili.
“Masih,” jawab Frili sambil terus menangis. Tapi saat ini tangisannya sudah mulai mereda.
“Ke UKS aja, Fril!” suruh beberapa teman Frili.
“Nggak mau,” tolak Frili.
Tetapi akhirnya Iie berhasil mengajak Frili untuk pergi ke UKS untuk mengambil minyak kayu putih. Tapi sangat disayangkan karena barang yang dibutuhkan sedang tidak ada. Terpaksa mereka kembali ke kelas dengan tangan kosong.
**
“Iya dong! Kan udah sembuh, ahhaha...” jawab Frili ceria.
“Ayo cepetan pulang! Nyisir mulu!” ajak Eky sambil menarik tangan Frili yang masih terasa sedikit sakit itu.
“Ih, sakit tau,” kata Frili sambil menarik kembali tangannya.
**
“Jadi ke Purwakarta?” tanya Frili.
“Kang Taufiknya aja udah pulang,” kata Angga dengan perasaan penuh kecewa.
“Mau ke rumah Entri aja?”
“Entri kan nggak sakit lagi?”
“Ya nggak apa-apa, main aja,”
Itulah percakapan mereka selama kurang lebih satu jam. Hanya seorang teman lagi yang sedang mereka tunggu. Fadhilah. Ia sedang berada di toko buku. Mereka semua sudah merasa lelah untuk menunggu kedatangan Fadhilah lebih lama lagi. Setelah lebih dari 1 jam, batang hidungnya pun nampak juga. Sambil melambaikan tangannya layaknya aktris sedang kehujanan fans. Tapi sangat menyedihkan, karena tak satupun dari mereka yang menunggu membalas lambaian tangan Fadhilah. Mungkin karena mereka sudah amat sangat kesal?
**
Mereka akan pergi ke Purwakarta. Nama grup mereka adalah ‘Student in the Train’. Dan untuk pertama kalinya di semester 2 mereka bepergian menggunakan jasa kereta api. WOW!!
**
Sesampainya mereka di tempat tujuan, banyak sekali kejadian yang sangat lucu sehingga memberi efek samping yang sangat buruk. Contohnya tertawa terbahak-bahak menyebabkan perut sakit dan lemas, lalu ia jatuh bersujud. Oh, memalukan! But, it’s fun!
**
“Kapan jalan-jalannya nih? Kan mau foto-foto!” rengek Frili yang sudah tidak sabar untuk berpose di layar kamera.
“Iya ih,” ucap Eky setuju.
“Iya, iya!” jawab mereka yang masih berada di dalam rumah saat Frili dan Eky sudah berada di luar jangkauan mata mereka dalam jarak 1 meter.
“Ayo foto dulu,” ajak Frili kepada teman-temannya.
“Nanti aja, kalo udah nyampe!” jelas temannya pada Frili.
**
Di sepanjang perjalanan, murid SMA yang paling rewel adalah Frili. ‘Dimana sih tempatnya?’ ‘Kita mau kemana?’ ‘Kapan nyampenya?’ ‘Ih jauh banget sih!’. Dan masih banyak ocehan-ocehan dan protes-protes Frili dalam perjalanan menuju Situ Buleud.
Tetapi, sesampainya di tempat tujuan, tetap Frili yang memenangkan kontes ‘Siapa yang terbawel?’. Ia terus berteriak sana sini untuk meminta temannya mengambil gambar dirinya.
Mereka sangat menikmati keadaan disana.
**
Ketika cuaca sudah tidak mendukung mereka untuk tetap bersenang-senang disana, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah Kang Taufik. Tetapi tetap saja mereka tidak mau menyia-nyiakan momen indah ini untuk bernarsis-ria.
**
Mereka sudah ‘mati gaya’ tetapi tetap saja menjadikan gaya yang mati itu sebagai objek foto mereka. Mereka pun masuk ke dalam rumah untuk menyantap hidangan yang telah disediakan oleh tuan rumah, yaitu mie instant.
Setelah selesai makan. Mereka melihat-lihat hasil dari gaya-gaya mereka yang ditangkap oleh kamera digital. Ketika mereka melihat gambar yang lucu, mereka akan tertawa terbahak-bahak. Dan begitu seterusnya berdasarkan apa yang terlihat pada gambar.
Hari sudah semakin sore, mereka memutuskan untuk pulang ke Cikampek. Mereka berpamitan kepada ibunya Kang Taufik lalu pulang.
**
Sesampainya di rumah, ia menceritakan segala sesuatu yang terjadi kepada sang mami. Tak lupa untuk memperlihatkan foto-foto yang menakjubkan saat berada di Situ Buleud. Lalu menjelaskan arti dari pose-pose yang mereka buat.
**
Sesuatu yang telah menjadi hobi Frili akan dilakukannya sambil meng-upload foto. Ia berusaha untuk menyelesaikannya dalam 1 jam. Tapi, tidak akan mungkin apabila ada banyak iklan yang harus ia bintangi saat itu, seperti makan, memasukkan motor ke dalam rumah, dan sebagainya.
Tetapi karena keinginan kuatnya untuk menyelesaikan tugas dari salah satu hobinya malam ini, ia berhasil membuat sebuat cerpen yang berjudul ‘A Special Day! Really?’ dalam waktu 1 jam 30 menit (murni tanpa gangguan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar